Menagih Janji Presiden Untuk Kembali Memimpin Gerakan Pemberantasan Korupsi
Hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2007 yang diluncurkan hari ini oleh Transparency International– koalisi global untuk melawan korupsi, menunjukan bahwa Indonesia berada diurutan ke 143 dengan nilai 2,3. Skor Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,1 dibandingkan IPK tahun 2006 (2,4). Dengan nilai IPK tersebut, negara kita masuk daftar negara yang dipersepsikan terkorup di dunia bersama dengan 71 negara yang skornya di bawah 3.

Sebagai gambaran, IPK 2007 melihat pada persepsi tentang korupsi di sektor publik pada 180 negara. Hasil ini merupakan indeks gabungan dari 14 survei pendapat ahli. IPK memberi skor pada negara-negara dalam skala nol sampai 10, dimana nilai nol mengindikasikan tingkat persepsi terhadap korupsi yang tinggi dan 10 mengindikasikan tingkat persepsi terhadap korupsi yang rendah. Dalam IPK kali ini, Somalia dan Myanmar berada diskor yang terendah yakni 1.4, sementara itu Denmark menanjak naik untuk bergabung bersama dengan pemegang skor tertinggi sebelumnya, Finlandia dan Selandia Baru.

Pengukuran tingkat persepsi korupsi ini juga menunjukan hubungan yang kuat antara korupsi dan kemiskinan yang semakin nyata. Disebutkan empatpuluh persen dari negara yang mendapat skor lebih rendah dari tiga, yang mengindikasikan bahwa korupsi di situ sangat parah, masuk dalam klasifikasi World Bank sebagai negara berpenghasilan rendah.

Konteks Indonesia
Turunnya skor Indonesia sebesar 0,1 dalam IPK 2007, memberikan gambaran kepada kita bahwa negara kita bisa jadi dipersepsikan mengalami penurunan dalam upaya pemberantasan korupsi. Skor IPK yang rendah mengindikasikan institusi publik sudah sangat terkontaminasi. Para responden dalam survey ini kemungkinan masih meragukan upaya yang dilakukan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam memimpin gerakan pemberantasan korupsi.

Responden mungkin melihat beberapa kasus sebagai indikator penurunan tersebut. Antara lain, masih banyaknya koruptor yang dibebaskan dari jeratan hukum. Sebagai contoh, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 12 Juni 2007 lalu memvonis bebas Pontjo Sutowo dan Ali Mazi dalam kasus dugaan korupsi Hilton. Pada 2 April 2007, Pengadilan Negeri Blora memvonis bebas Supito, terdakwa kasus korupsi dana bantuan gubernur untuk proyek air bersih senilai Rp 800 juta. Begitu juga Pengadilan Negeri Malang, memvonis bebas Wakil Wali Kota Malang Bambang Priyo Utomo dalam kasus korupsi anggaran belanda daerah senilai Rp 2,1 miliar pada 13 Januari 2007. Terdakwa dalam kasus korupsi projek pengadaan buku SMP/MTs. Dinas Pendidikan Jabar senilai Rp 14 miliar, Drs. H. Djoko Sulistyo juga divonis bebas dalam sidang di Pengadilan Negeri Bandung pada 30 Juli 2007. Dan, masih banyak kasus dugaan korupsi yang divonis bebas.

Sejumlah koruptor kelas kakap seperti dalam kasus BLBI juga belum berhasil diseret ke pengadilan. Sedangkan upaya Kejagung untuk kembali menangani perkara Soeharto dalam kasus yayasan Supersemar, dan Tomy Soeharto dalam kasus BPPC, juga masih diragukan.

Kalangan bisnis yang jauh dari kekuasaan juga mulai kuatir diperas oleh partai-partai politik untuk kepentingan Pemilu dan pemilihan presiden 2009. Kasus money laundering yang diadili di Pengadilan Negeri Medan belum lama ini membuktikan bahwa sebanyak 15 pengusaha kontruksi telah menghimpun dana sekitar Rp. 10 miliar untuk mendukung calon bupati Nagan Raya terpilih. Apalagi dalam draf RUU Parpol yang masih dibahas DPR, jumlah sumbangan dari perusahaan/ perorangan untuk parpol dan calon presiden akan diperbesar jumlahnya.

Beberapa keputusan hukum dan kebijakan pemerintah belakangan ini juga semakin memperkuat terjadinya kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Sebut saja, keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan gugatan mantan Presiden RI H M. Soeharto terhadap majalah Time Asia, masuknya sejumlah nama bermasalah dalam daftar 10 calon pimpinan KPK yang diserahkan kepada Presiden, dan penolakan MA atas audit yang dilakukan BPK.

Fakta tersebut semakin melemahkan gerakan antikorupsi, serta membuat masyarakat kita semakin apatis dan permisif terhadap praktek korupsi meskipun komitmen pemerintah sekarang ini untuk mencegah dan memberantas korupsi cukup tinggi dengan sejumlah regulasinya. Dalam kenyatannya selama ini komitmen tersebut belum sepenuhnya bisa diterjemahkan pada tingkat implementasi. Kegamangan masih menyelimuti pejabat negara dan aparaturnya untuk melaksanakan kebijakan antikorupsi yang dicanangkan oleh Presiden.

Kinerja penegak hukum, seperti kejaksaan, pengadilan, kepolisian, Timtastipikor, Tim Pemburu Korupsi, juga belum memuaskan. Aparat pemberantas korupsi lebih mementingkan kuantitas, juga terkesan tebang pilih bahkan salah tebang. Ditandatanganinya perjanjian ekstradisi dengan Singapura pada 27 April 2007, juga belum mampu menyeret koruptor untuk mengembalikan aset negara yang disimpannya di negara itu. Lebih buruk lagi, bahkan aparat penegak hukum seringkali meminta suap dalam penanganan kasus korupsi. IPK Indonesia tahun 2006 menunjukan bahwa lembaga vertikal seperti polisi, peradilan, pajak, Imigrasi, Bea& Cukai, dll masih dipersepsikan sangat korup.

Upaya pencegahan korupsi pun masih jalan di tempat. Rencana fundamental seperti mereformasi birokrasi di sejumlah departemen, serta reformasi lembaga peradilan, kejaksaan, dan kepolisian belum berhasil diwujudkan. Para pejabat negara, kalau pun tidak menikmati korupsi, juga cenderung tutup mata. Birokrasi masih buruk dan memberi peluang terjadinya praktek korups. Hanya sejumlah daerah dengan inovasi lokal telah melakukan reformasi birokrasi, dan mengupayakan pencegahan korupsi dalam sistem belanjanya.

Akibat penurunan pemberantasan korupsi, keuangan negara masih digrogoti para koruptor. Korupsi dan suap masih merajalela baik di instansi pemerintah, BUMN, maupun sektor bisnis. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan hingga akhir 2006 sampai awal 2007 terjadi peningkatan kasus korupsi hingga Rp14,4 triliun dari 161 kasus korupsi. Kebocoran terbesar terjadi pada pengadaan barang dan jasa proyek pemerintah. Selama lima tahun ini, kebocoran dana pengadaan barang dan jasa ini diperkirakan mencapai lebih dari 30% pertahun akibat tidak transparannya sistem belanja. Sejumlah asset koruptor yang berada di luar negeri juga masih banyak yang belum berhasil dikembalikan.

Kenyataan tersebut merupakan faktor-faktor yang menyebabkan peringkat korupsi Indonesia masih tergolong rendah dalam IPK 2007 ini. Hubungan antara tingkat korupsi dan kemiskinan juga terbukti. Berdasarkan data resmi pemerintah, angka kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi, yaitu 37,1 juta jiwa dari keseluruhan 220 juta jiwa penduduk. Masih tingginya angka kemiskinan, sangat mungkin disebabkan karena kesalahan dalam pengelolaan manajemen negara, sehingga uang negara lebih banyak yang dikorup oleh para pejabat publik, dari pada digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Masyarakat miskin, sudah pasti mengalami penderitaan yang pahit di bawah tekanan korupsi.

Berdasarkan kenyataan tersebut, kami menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Meminta Presiden untuk kembali memimpin langsung gerakan pemberantasan korupsi, dan secara aktif memantau pelaksanaannya, terutama untuk memastikan instruksinya dijalankan, serta memobilir dukungan dari lembaga lain, seperti MA dan Mahkamah Konstitusi.
  2. Perlunya memperbaiki tingkat transparansi dalam manajemen keuangan dari penerimaan dan pembelanjaan negara, serta melakukan reformasi birokrasi untuk menghindari peluang korupsi dalam pelayanan publik, dan menerapkan pakta Integritas untuk menyelamatkan belanja negara dalam pengadaan barang dan jasa.
  3. Mengintensifkan kembali fungsi pengawasan, khususnya yang melibatkan tiga unsur dalam pemberantasan korupsi yakni birokrasi pemerintah, parlemen, dan aparat penegak hukum, serta memberi ruang pengawasan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
  4. Mengaktifkan kembali reformasi di lembaga peradilan dengan menjaga independensi, integritas dan akuntabilitas untuk meningkatkan kredibilitas sistem peradilan. Tidak hanya terbebasnya pengaruh politik dalam pengadilan, hakim juga harus benar-benar disiplin dalam menegakan hukum, mempersempit imunitas dan mematuhi kode perilaku hakim yang memastikan bahwa keadilan dijalankan.
  5. Mendesak diselesaikannya UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan membentuk Pengadilan Tipikor di setiap daerah, serta membentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai amanat dari UU No. 13/ 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menjamin bagi keamanan saksi– termasuk dalam kasus korupsi.

Jakarta, 26 September 2007
Transparency International (TI) Indonesia

Rizal Malik Todung Mulya Lubis
Sekretaris Jenderal Ketua Dewan Pengurus