‘Layanan Publik Membaik, Namun Korupsi Politik Masih Tinggi’
Jakarta, 7 Maret 2017 – Transparency International kembali meluncurkan Global Corruption Barometer (GCB). GCB merupakan potret kinerja pemberantasan korupsi berdasarkan persepsi dan pengalaman masyarakat di masing-masing negara.  Hasil GCB 2017 menunjukkan anggota legislatif di seluruh Asia Pasifik perlu memperjuangkan keberpihakan terhadap whistleblower; Pemerintah harus menepati janji untuk memberantas korupsi, termasuk komitmen untuk memenuhi Sustainable Development Goals (SDGs)/ Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).

Mengakhiri korupsi akan mendorong terwujudnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Jutaan orang di Indonesia dapat keluar dari lingkaran kemiskinan jika uang yang hilang akibat korupsi diinvestasikan dalam pembangunan berkelanjutan. Itu sebabnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-16 (SDGs Goal 16) memfokuskan pada terciptanya keadilan, menghentikan illicit financial flows, mengakhiri suap dan korupsi.

“Dalam konteks Indonesia, korupsi masih meningkat, dengan lembaga-lembaga pemerintahan seperti DPR, DPRD, birokrasi, sektor pajak dan polisi dipersepsikan sebagai lembaga yang korup.” ungkap Dadang Trisasongko, Sekretaris Jenderal Transparency Internasional Indonesia.

Survei GCB 2017 dilakukan selama Juli 2015 sampai Januari 2017. Transparency International melakukan survei kepada hampir 22.000 responden rumah tangga (≥ 18 tahun) di 16 negara Asia Pasifik. Survei dilakukan dengan metode wawancara tatap muka dan/atau telepon. Di Indonesia, survei dilakukan terhadap 1000 responden yang tersebar secara proporsional di 31 provinsi. Responden diwawancara pada medio 26 April – 27 Juni 2016 dengan batasan pada pengalaman dan pengetahuan dalam kurun waktu 12 bulan terakhir.

Hasil dari GCB 2017 memberikan gambaran bahwa korupsi masih terjadi dalam sektor layanan publik yang diselenggarakan negara. Ketika berinteraksi dengan layanan publik, lebih dari sepertiga masyarakat harus membayar suap. Polisi adalah layanan publik dengan suap tertinggi, diikuti dengan sektor administrasi dan kependudukan.

Dibandingkan dengan negara-negara Asia Pasifik lainnya, masyarakat di Indonesia paling positif menilai upaya pemerintah melawan korupsi. Lebih dari setengah responden mengatakan pemerintah bekerja lebih baik untuk memberantas korupsi. Selama tiga tahun terakhir, pengalaman masyarakat dengan layanan publik menunjukkan perbaikan.

“Pemerintah harus lebih serius membangun tata kelola yang tidak rentan korupsi, serta memastikan masyarakat dapat aktif mengawasi,” sambung Dadang Trisasongko.

Namun tidak demikian dengan lembaga legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah. Tingkat korupsi di lembaga legislatif masih dinilai tinggi, penilaian ini konsisten menempatkan legislatif sebagai lembaga paling korup, setidaknya selama tiga tahun terakhir. Hal ini bisa disebabkan 2 (dua) hal, pertama, banyaknya kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif di daerah (DPRD) dan pusat (DPR RI). Kedua, kinerja lembaga legislatif dalam menjalankan fungsi utamanya (legislasi, anggaran, pengawasan) maupun kinerja pemberantasan korupsi di internalnya tidak maksimal. Bahkan dalam perkembangan terakhir DPR justru getol merevisi UU KPK.

Masyarakat mengatakan bahwa upaya yang paling penting untuk melawan korupsi adalah menolak untuk membayar suap. Namun, satu dari lima diantara mereka merasa tak berdaya untuk membantu memerangi korupsi. Lebih dari tiga puluh persen masyarakat tidak melaporkan kasus korupsi karena takut akan konsekuensi yang diterima.

Untuk itu, Transparency International Indonesia merekomendasikan:
1)    Perlu ada upaya perbaikan sistem pada lembaga politik, khususnya DPR dan DPRD. Lembaga politik perlu merumuskan strategi antikorupsi untuk memperkuat akuntabilitas politik dan perbaikan kinerja. Perumusan standar etik untuk mengurangi risiko korupsi, termasuk di partai politik. Tata kelola partai politik sebagai salah satu ujung tombak demokrasi perlu dibenahi selaras dengan upaya pemberantasan korupsi. Sehingga sistem integritas dan pola kaderisasi partai politik yang nantinya memberikan sumbangsih di lembaga legislatif menjadi garda terdepan dalam menegakkan nilai-nilai integritas dan antikorupsi.

2)    Reformasi birokrasi yang digaungkan oleh Pemerintah hendaknya diikuti dengan upaya perbaikan sistem rekrutmen pejabat negara yang berintegritas dan bebas dari segala konflik kepentingan. Sehingga birokrasi menjadi lebih transparan, partisipatif, akuntabel, dan berintegritas dalam memberikan pelayanan yang prima terhadap masyarakat.

3)    Pemerintah perlu lebih mensosialisasikan ruang-ruang pengaduan kepada masyarakat dengan memastikan prosedur penanganan pengaduan yang cepat, responsif, murah dan terjangkau oleh masyarakat. Inisatif seperti Saber Pungli perlu digalakkan, bukan hanya pada level teknis (OTT), tetapi juga memberikan kesadaran kepada aparatur birokrasi agar nilai-nilai antikorupsi terinternalisasi dalam pribadi setiap aparatur birokrasi. Senada dengan hal tersebut, dari sisi masyarakat,  Pemerintah perlu mempertegas jaminan keamanan bagi pelapor/saksi/korban. Di mana kepastian terhadap proses-proses pengaduan dijamin sedemikan rupa dan dijauhkan dari tindakan kontraproduktif (seperti kriminalisasi dsb).[]

Narahubung:
Wawan Suyatmiko +62 81213394576
Sekar Ratnaningtyas +62 85226052305

[us_single_image image=”4695″ size=”medium” link=”url:https%3A%2F%2Friset.ti.or.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F11%2FGCB-2017-Presentation-.pdf|||”]
[us_gallery ids=”4696,4697,4698,4699″ columns=”6″]
[us_single_image image=”4694″ link=”url:https%3A%2F%2Friset.ti.or.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F11%2F2017_GCB_AsiaPacific_EN.pdf||target:%20_blank|”]