Indeks Indonesia Naik Signifikan
Kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah selama setahun ini cukup membuahkan hasil, demikian Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia menyatakan di Jakarta. Hasil Corruption Percepsion Indeks (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2008 yang diluncurkan secara global oleh Huguette Labelle, Chairperson Transparency International pada hari ini menunjukan kenaikan yang cukup signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Tahun ini IPK Indonesia berada diurutan ke-126 dengan skors. 2,6, atau naik sekitar 0,3 dibandingkan IPK 2007 lalu. Tahun lalu bahkan merosot dari 2,4 ditahun 2006, menjadi 2,3 ditahun 2007.
Todung Mulya Lubis menilai, bagaimanapun ini menunjukan bahwa upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah telah mendapat apresiasi yang tinggi dari para responden. Mereka mulai melihat keseriusan pemerintah dalam menangani kasus-kasus korupsi, terutama tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyeret sejumlah pejabat negara baik di pusat maupun daerah, anggota legislatif dan pejabat publik lainnya yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dengan menganalisis berdasar komposit indeks dari 10 survey dari lembaga-lembaga survey terpercaya, meskipun hanya berdasarkan persepsi, namun dipercaya sejak bertahun-tahun CPI bisa mendekati gambaran yang sebenarnya.
Selain gebrakan KPK, upaya pemerintah dalam membenahi pelayanan publik juga menjadi catatan tambahan. Di sejumlah kota/ kabupaten bahkan ada inovasi lokal untuk mewujudkan Good Governance dalam bentuk pelayanan satu atap atau one stop service seperti di Kota Surabaya, Kabupaten Sragen, maupun perbaikan pelayanan publik seperti di Kabupaten Jembrana Bali, Kabupaten Musi Banyuasin Sumsel, dll.
Namun dibalik kisah sukses tersebut, kami juga mencatat banyak upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan selama setahun ini belum maksimal, demikian Rizal Malik, Sekjen TI Indonesia menyatakan. Tindak pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK gagal menyentuh pejabat negara yang berkuasa, khususnya di tingkat pusat. Hal itu bisa dilihat dalam kasus aliran dana Bank Indonesia yang diduga diterima dua menteri yakni MS Kaban dan Paskah Suzeta.
Begitu juga dalam kasus suap tersangka dana BLBI terhadap pejabat Kejaksaan Agung. Memang KPK berhasil menangkap dan Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis berat Artalyta Suryani dan Jaksa Urip Tri Gunawan- Ketua Tim Penyelidik kasus BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim, yang terbukti menerima suap. Namun KPK terlihat masih gamang dalam menangani pejabat Kejagung lainnya yang terlibat, serta ragu mengambil-alih kasus BLBI sebagaimana didesak sejumlah kalangan. Terlebih dengan lantang menolak peninjauan kembali SP-3 kasus Samsyul Nursalim meskipun Tim pemeriksa Jaksa Urip Tri Gunawan akhirnya dihukum 20 tahun penjara, sebuah hukuman paling berat yang pernah dijatuhkan.
Rizal Malik juga mencatat Pemberantasan korupsi yang dipimpin oleh Presiden masih berjalan lambat. Korupsi dan suap masih terjadi di berbagai instansi pemerintahan, terutama di lembaga vertikal meski ada upaya perbaikan. Selama 2007 lalu, Departemen Dalam Negeri melaporkan 7 gubernur, 3 wakil gubernur dan 62 bupati/walikota tersangkut korupsi. Sepanjang 2007, Depdagri menemukan kerugian negara sebesar Rp 50,197 miliar. Hasil Pemeriksaan BPK awal 2008 ini juga menemukan penyimpangan keuangan negara di Sekjen DPR sebesar Rp 25,3 miliar. Sayangnya hal ini seperti tidak terkait dengan implementasi Inpres No. 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi, yang tidak pernah menjadi agenda di masing-masing Departeman atau Lembaga sehingga menjadi ironi tersendiri ketika Presiden pernah berjanji akan turun langsung memimpinnya.
Upaya pengembalian aset para koruptor di luar negeri yang diamanatkan dalam UN Convention Against Corruption (UNCAC)– diratifikasi dalam UU No. 7 Tahun 2006, juga belum berhasil. Ketidakmampuan hukum kita mengadili kasus pidana almarhum Soeharto dan mengambilalih asetnya, adalah buktinya. Hal itu diperparah dengan belum adanya Undang-undang yang mengatur perampasan aset sampai pengelolaan aset-aset hasil kejahatan.
Kebebasan pers juga sedang terancam. Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang memenangkan Asian Agri Group melawan majalah Tempo, telah mengancam kebebasan pers dan hak publik untuk memperoleh informasi. Begitu juga dengan keputusan Pengadilan Jakarta Selatan awal Juli 2008 lalu, yakni dimenangkannya gugatan perdata PT Riau Andalan Pulp and Paper dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Koran Tempo. Itu adalah ”Pembredelan gaya baru” yang melemahkan fungsi pers sebagai pilar dalam pemberantasan korupsi.
Ancaman lainnya yang krusial menjelang Pemilu 2009 ini adalah fenomena korupsi politik. Para pejabat publik dan elite politik kita akan berlomba-loba mengumpulkan dana politik demi meraih kekuasaan dalam pemilu nanti. BUMN kembali akan menjadi sapi perahan. Harapan masyarakat diharapkan tidak tinggal harapan, karena panggung Pemilu 2009 akan menyedot dana yang tidak kecil dari masyarakat terutama dari kalangan dunia usaha. Hal ini tentu menimbulkan kekawatiran tersendiri karena sumbangan dana kampanye melalui UU 10/2008 naik sepuluh kali lipat untuk sumbangan individu dari Rp. 100 juta menjadi Rp. 1 Milyar dan lebih dari 5 kali lipat untuk sumbangan perusahaan dari Rp. 750 juta menjadi Rp. 5 milyar. Oleh karena itu untuk menuju Indonesia lepas dari belenggu korupsi, TI Indonesia mendesak agar:
- DPR dan kalangan Partai Politik mendukung upaya pemberantasan korupsi, dengan tidak melakukan praktek KKN dalam menjalankan tugasnya, termasuk dalam pembahasan Undang-Undang maupun kebijakan lain, serta dalam melaksanakan fit and proper test calon pejabat publik. Wacana pembuatan UU Penyadapan adalah upaya nyata pengebirian KPK yang bisa mengancam progres pemberantasan korupsi yang telah berjalan baik.
- DPR dan kalangan Partai Politik agar mengedepankan profesionalitas, kesantunan, etika sehingga mampu menjalani proses Pemilu 2009 tanpa melakukan praktek-praktek KKN, terlibat money loundering, dan politik uang yang berujung pada rendahnya integritas DPR. Perlu pemikiran ke depan agar Panitia Anggaran DPR membahas rancangan anggaran besar saja tanpa harus terlibat detail hingga ke satuan tiga. Pembahasan anggaran yang terlalu detail tidak tertutup kemungkinan terbukanya nafsu ”jual-beli” proyek dari data yang dimiliki anggota Panitia Anggaran.
- Presiden SBY memperkuat koordinasi dan kebijakan pemberantasan korupsi hingga ke aparat terendah, seperti di Kelurahan dan Kabupaten/Kota, serta memperbaiki pelayanan publik, termasuk melakukan revitalisasi Inpres No. 5 tahun 2004 yang tidak berjalan juga efisiensi pembahasan anggaran dan pencairan anggaran di Departemen Keuangan yang belum mencerminkan perbaikan.
- Pemerintah, baik Eksekutif dan Legislatif serta Badan Pemeriksa Keuangan menetapkan langkah dan pedoman dalam memastikan anggaran APBN sebesar 1000 triliun benar-benar sampai ke rakyat, terutama di anggaran pendidikan, kesejahteraan sosial dan anggaran daerah.
- Mereformasi sistem pengadaan barang dan jasa proyek pemerintah yang lebih transparan, akuntabel dengan menerapkan sistem Pakta Integritas secara penuh sesuai dengan yang dijalankan TI di beberapa negara, dan telah dipraktekkan di Kabupaten Solok, Sumatra Barat sejak tahun 2003.
- Mengintensifkan kembali fungsi pengawasan di lingkungan birokrasi pemerintah dan DPR, khususnya yang melibatkan tiga unsur dalam pemberantasan korupsi yakni pemerintah (penegak hukum dan pengawas internal), parlemen, dan masyarakat.
- Mendesak pemerintah agar tetap membuka ruang publik yang sudah berjalan demi tegaknya kebebasan pers sebagai salah satu pilar penting dalam pemberantasan korupsi. Termasuk penguatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang hingga kini belum bisa bekerja, sehingga upaya pemasungan kebebasan pers dapat dihentikan dan absenya perlindungan saksi (whistle blower) tidak terjadi lagi.
- Mengoptimalkan aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi dengan melakukan reformasi peradilan dan membasmi praktek mafia peradilan, termasuk mendorong agar investigasi penggelapan pajak Asian-Agri tidak terbentur di mafia
peradilan.
Jakarta, 23 September 2008
Transparency International Indonesia
Rizal Malik Todung Mulya Lubis
Sekjen Ketua Dewan Pengurus